ESAI


cooltext198928198412278

media sosialSEJAK munculnya karya klasik Walter Lippman, Public Opinion, pada tahun 1922, perkembangan teori komunikasi mengalami fase baru yang lebih ‘dramatik’. Ilmu komunikasi tidak lagi berada dalam ruang-ruang sempit milik para akademisi dan kaum profesional komunikasi seperti jurnalis, namun telah jauh merangsek dalam seluruh sendi pola relasi dalam masyarakat.Ilmu komunikasi kemudian menjadi ‘mahkota’ yang menandai lahirnya era baru diberbagai disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu politik, ilmu administrasi, ilmu pemerintahan, linguistic, psikologi sosial, sosiologi dan lain-lain (Dam Nimmo, Political Communication and Public Opinion in America).

Daya progresivitas yang terbangun dalam karakter multidisipliner ilmu ‘komunikasi baru’ ini semakin diperkuat dengan lahirnya globalisasi abad 20. Revolusi dalam teknologi informasi menjadikan arus komunikasi serta informasi di belahan dunia semakin memiliki tingkat intensitas yang sangat tinggi. 

frtseyParadigma dunia dan keilmuan modern yang demikian kokoh tertanam sejak munculnya abad pencerahan mengalami fase ‘pembusukan’ dan mencair dalam berbagai episentrum baru. Perkembangan dan revolusi teknologi komunikasi menjadikan sekat-sekat komunikasi mengalami ‘turbulensi’ yang dahsyat, baik dari sisi ‘mediumnya’ maupun dari sisi ‘komunitakor’-nya. Pada sisi ‘medium’-nya, komunikasi dan informasi dalam era baru ini tidak lagi terbatas pada media-media tradisional dan konvensional semisal media massa Koran, radio dan televisi, telah bertumbuh dalam medium alternative lain seperti media sosial (medsos) Karakter revolusioner yang dibawa oleh media sosial (medsos ) sangat berbeda dengan karakter media komunikasi konvesional di mana  pada media konvensional, arus informasi dan komunikasi berjalan searah. Sifat sentralistik yang dimiliki oleh medium komunikasi konvensional menjadikan proses pembentukan dan pembangunan komunikasi hanya dimiliki dan dikendalikan oleh pusat (pemegang kuasa) menuju peripherial (dikuasai).

who-we-areSedangkan pada era komunikasi baru, karakter yang sangat menonjol adalah watak komunikasi-nya yang demikian demokratis serta sangat partisipatif. Hal ini menjadikan corak sertapola relasi kekuasaan serta interaksi opini menjadi demikian cair. Corak pembentuk opini tidak lagi terakumulasi pada model kekuasaan lama namun bergeser demikian cair dalam ruang interaksi media sosial yang sangat cair (Jalaluddin Rahmat, Era Komunikasi Baru) Dalam konteks seperti ini, kita coba meletakkan dinamika Asia dalam perspektif sebuah era komunikasi baru tersebut. Sejarah meletakkan Asia  sebagai sebuah entitas cultural dan sosial yang memiliki daya pesona tersendiri dalam perjalanan panjang dinamikanya. Para cendekiawan, akademisi serta para pekerja di bidang sosial menjadikan Asia sebagai kajian berbagai keilmuan, yang lazim disebut sebagai ilmu yang bercorak oriental.

Pada beberapa decade abad 20, Asia sebagai objek studi didominasi oleh kajian-kajian oriental ilmuwan barat yang mau-tidak mau menyimpan orentasi dan paradigm cultural dan sosial yang ditanamkan di tanah kelahirannya. Asia kemudian menjadi sebuah entitas kultur sosial hasilnya dilihat dan dibaca lewat interpretasi cultural sosial barat. ‘Suara’ Asia menjadi suara para ‘pelancong’  yang terpesona atau merasa ‘aneh’ dengan semua fenomena sosial budaya yang ditemuinya. Eksotisitas Asia, keterbelakangan Asia adalah cara pandang ilmu abad 20 memandang Asia.Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, terjadi sebuah perubahan signifikan dalam memahami Asia sebagai sebuah kajian studi cultural baru. Bahkan lebih dari itu, saat ini telah berkembang pemahaman baru yang meletakkan Asia sebagai titik masuk menuju sebuah perspektif baru, bahkan sebuah epistimologi baru.

Fenomena ini lebih diperkuat oleh karena terjadi bersamaan dengan sebuah periode kemajuan dalam teknologi informasi serta media yang dipakainya sebagaima yang diuraikan pada awal tulisan ini. Dengan bertemuannya dua arus perubahan yang sangat dinamis tersebut, Asia menjadi sebuah rangkaian yang jalin-menjalin dalam demikian banyak nuansa, perspektif yang penuh warna.

Mengenal wajah permukaan Asia sangatlah berbeda dengan bagaimana kita mengenal kultur sosial dari tempat lain semisal Eropa atau bahkan Amerika yang bisa dikatakan berpola sama. Asia adalah entitas cultural sosial yang sangat beragam dan penuh warna. Kekayaan dan keragaman ini sangat menarik ketika ditinjau dari cara berbagai kultur sosial tersebut merespon, memahami dan membumikan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang juga terjadi dan hadir di Asia.Pada perspektif awal, revolusi teknologi komunikasi dan informasi menjadi sebuah ‘penguatan’ yang sangat signifikan bagi keberagaman cultural sosial di Asia. Era komunikasi baru yang memiliki watak demokratis serta karakter partisipatif merupakan sebuah perayaan bagi pluralistic kultur dan sosial di Asia.

Hal ini sangat menonjol dari bermunculannya ‘pusat-pusat’ budaya yang dahulu ‘ditindas’ oleh keseragaman corak ilmu komunikasi lama yang cenderung menyeragamkan dan hanya berjalan searah. Dengan demikian, pola komunikasi yang jalin-menjalin menjadi sangat dinamis dari berbagai arus arah budaya yang dalam ilmu komunikasi baru, diletakkan dalam aras yang sama dan sejajar. Pada era komunikasi baru, Asia kemudian berubah menjadi ‘kekayaan’ yang demikian melimpah dari berbagai sudut perspektif. ‘Kekayaan’ Asia ini menjadi kekuatan yang kemudian meraksasa  karena demikian ditunjang oleh kekuatan era komunikasi baru dengan teknologi media sosialnya yang berdampak demikian dahsyat.Asia menjadi sebuah ‘suara’-nya sendiri yang didengarkan dan disimak oleh dunia dan bukan lagi sebagai entitas yang disuarakan oleh pihak yang mencoba atau merasa memahaminya. Dalam sisi komunikasi era baru tersebut, Asia merayakan banyak paradigm baru. Hal ini dengan sendirinya merupakan ‘sumber kekayaan’ bagi berbagai studi kajian kultur dan sosial dengan aras perspektif era komunikasi baru.Dari Asia kemudian, ilmu komunikasi baru banyak menemukan lahan subur untuk membangun pola baru dalam meletakkan kajian komunikasi masa depan. Dari Asia, berbagai kajian strategi komunikasi, managemen serta new public relation yang memperkaya khazanah keilmuan komunikasi dunia.

Proses divergensi dan konvergensi ilmu komunikasi menjadi sebuah dinamika yang demikian menarik dalam melihat Asia ke depan. ***


cooltext174940915459140 


cooltext174795347406202
indian-smoking-pipeTak ada yang tahu persis apa yang ada dibenak Columbus ketika menyaksikan sekelompok suku pribumi Amerika (Indian), mengisap sebuah pipa panjang yang kemudian menyemburkan asap, ketika dia menjejakkan kaki pertama kali pada suatu pulau yang di namakan “Walting Island”  12 Oktober 1492.  Tapi sejak itulah sejarah mulai mengenal tembakau. Dan sejak itu pula dunia seperti  sebuah cerita panjang tentang penaklukan, kejatuhan dan deretan panjang kisah penghancuran sebuah suku-bangsa. Sebuah  sejarah yang meletakkan “jarak” demikian menganga  antara “kami” dan “mereka” dalam etalase menguasai dan dikuasai. Di sana eksistensi kemanusiaan  pun dibaca bersama peperangan darah dan air mata. Bukan karena baru kali itu peperangan dikenal manusia, namun  baru pada saat itu peperangan menjadi sebuah ideologi “pemusnahan” ras manusia secara sitematis dan dilakukan dengan strategi “pengetahuan modern”.

Lalu kisah penaklukan  atas sebuah bangsa menjadi sebuah pengulangan terus-menerus dalam peta perjalanan sejarah. Kolonialisme dan imperialisme menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tegaknya dunia modern di atas pijakan tanah yang berlumuran darah dan hilangnya harga diri kemanusiaan.  Karena yang terjadi bukan hanya sekedar peperangan dalam arti yang tradisional, namun  sebuah  penaklukan yang secara tuntas meletakkan manusia lain dalam dimensi kehilangan segalanya, bahkan dirinya sendiri. Karena yang dikuasai bukan hanya sekedar fisik seperti yang terjadi pada “perbudakan” tradisional, namun telah sanggup “memusnahkan” pikiran dan batin manusia dalam ranah metafisika dan menggantinya dengan “ideologi” yang homogen.

 

Maka sejak saat itu, tembakau,seperti rempah-rempah dari belahan dunia timur kemudian menjadi semacam kompas penunjuk arah dari  sejarah penaklukan dan pemusnahan kemanusiaan paling tragis dari terbitnya dunia modern dengankolonialisme  sebagai “nabi” penyebar ajarannya. Dalam pertarungan ini, tembakau adalah sebuah “bahasa” yang kemudian dilucuti habis-habisan untuk kemudian ditempatkan pada “sanatorium” untuk didisiplinkan. Meminjam bahasa Michael Foucault,  dunia modern kemudian menciptakan “bengkel” pendisiplinan tubuh manusia yang dianggap menyimpang. Mitos-mitos kesehatan modern yang menjadikan tembakau sebagai “iblis” yang dilaknat, kemudian menyebar dalam ruang-ruang sejarah tentang bagaimana sebuah ideologi mampu meluluh-lantakkan kemerdekaan dan keberagaman. Di sana, tembakau adalah kebudayaan yang ingin dimusnahkan, sama ketika suku Indian  diperlakukan dalam sejarah Amerika. Perlahan-lahan dilokalisir dan dibiarkan tak berdaya. Dicerabut dari akar semangat hidup dan dinistakan dalam perlakuan.

Tembakau adalah orang-orang Indian yang menjadi para perokok pada zaman ini. Mitos kesehatan yang akan “membunuhnya”. Kolonisasi dan imprealisme  ideology maupun ekonomi  meletakkannya sebagai orang-orang sakit yang perlu disembuhkan dalam “penampungan-penampungan”. Aturan-aturan perdagangan  diperketat dan Industri Farmasi seperti dewa penolong. Semua itu terjadi dalam ruang pertarungan  ideologi untuk menaklukkan dan menguasai segalanya. Columbus adalah dunia modern yang tersenyum menyaksikan runtuhnya kebudayaan dan perdagangan pribumi.  Asap yang keluar dari tembakau dianggap lebih membunuh dari asap letusan senjatanya. Sebuah ironi yang memang memilukan.

Kisah ini ternyata masih saja berlanjut hingga sekarang. Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba semakin menjadi Columbus dengan rancangan peraturan pemerintahnya tentang  pengaturan tembakau. Disana, pemerintah tiba-tiba menjadi cowboy yang demikian bergairah ingin “menembak” para perokok, petani tembakau dan industri tembakau milik negerinya sendiri. Mungkin juga pemerintah bukanlah  Columbus, tapi   hanya sekedar “perajurit-perajurit” Columbus itu.***


cooltext174940915459140



No comments: